(TELAAH PSIKOLOGIS)
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Nilai Plagiarism Checker sebagai syarat kelulusan Pelatihan ICT
2018
Oleh
ARIS HIDAYATULLAH
NIM. 1162020033

BANDUNG
2018 M/1439 H
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis ucapkan atas
terselesaikannya makalah yang berjudul “Perkembangan Keberagamaan Peserta
Didik” ini. Tak lupa rasa syukur pun tak henti-hentinya penulis sampaikan
kepada Allah tuhan semesta raya, diiringi shalawat dan salam kepada baginda
alam Nabiyullah Muhammad saw.
Dalam penulisan makalah ini penulis
ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada intruktur pelatihan ICT yang telah
membimbing penulis dalam penyusuan tugas ini. Juga kepada sahabat-sahabat saya yang
telah mensupport akan terseselasikannya makalah ini.
Terutama kepada Alis Aisyah Sulistya yang telah berkenan memberikan berbagai
fasilitas untuk mengerjakan tugas ini, dan juga kepada Asep Purnama Sidiq yang
telah banyak membantu saya dengan segenap kemapuannya dalam finishing tugas
makalah ini. Serta kepada semua orang yang telibat dalam penyelesain ugas ini
yang penulis tak bisa sebutkan satu persatu, semoga Allah membalas kebaikan
kalian smeua.
Akhirnya
penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,
keritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat penulis nantikan
demi perbaikan makalah berikutnya.
Bandung, 10 November 2018
Penulis
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia
pendidikan, seorang guru diharuskan mampu mengenali setiap peserta didiknya,
terutama kepribadiannya. Dalam hal ini, agar guru bisa menyesuaikan dengan pola
perilaku peserta didik tersebut dalam kegiatan belajar mengajarnya. Dalam ranah
social, guru bisa menilai ataupun mendeskripsikan pola prilaku peserta didik
dengan cara memperhatikan sikap peserta didik dalam kesehariannya di sekolah.
Baik saat belajar di kelas maupun saat bermain bersama teman-temannya di luar
kelas atau di luar jam pelajaran.
Namun,
bagaimana dengan penelaaahan pola prilaku peserta didik dalam ranah
spiritualnya menjadi sesuatu yang sulit untuk diketahui. Karean, seorang guru
tidak mungkin mengawasi 24 jam agar mengetahui pola prilaku spiritual peserta
didik tersebut. Disinilah guru harus memiliki pengetahuan atau kepekaan
terhadap peserta didiknya hingga akhirnya gur tersebut bisa mengetahui pola
prilaku spiritual peserta didik tersebut.
Lalau apa sih
yang dimaksud spiritual? Secara umum, kata spiritual sudah tidak asing lagi di
telinga kita, karena memang sering kita dengar dalam keseharian kita. Dan
secara keseluruhan, kita selalu mengartikan spiritual dengan keagamaan. Padahal
menurut Prof. Muhibbin spiritual itu berasala dari kata spirit, dan kata spirit
pun banyak padanannya, diantaranya soul (ruh),
inner-self (bagian dalam individu), character (watak), strength of mind (kekuatan akal) dan fortitude (ketabahan). Keseluruhan padanan itu tidak berkaitan
secara angsung terhadap agama ataupun terhadapa kehidupan keagamaan, karena
orang yang tidak memiliki agama pun memiliki ruh, watak, akal serta yag
lainnya. Sehingga Prof. Muhibbin mengatakan bahwa spiritual adalah kemampuan
ruhiyah yang mendorong orang berpikir, beremosi, dan bertindak bijaksana.[1]
Maka dari itu
seorang guru harus mampu memahami setiap perkembangan yang dilalui oleh peserta
didiknya, terutama perkembangan spiritual atau perkembangan keberagamaan
peserta didiknya. Karena nantinya akan berengaruh terhadap cara berpikir dan
bertindak seorang peserta didik tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
fenomena keberagamaan dalam diri manusia?
2.
Bagaimana
perkembangan keberagamaan anak dan remaja?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui fenomena keberagamaan dalam diri manusia
2.
Untuk
mengetahui perkembangan keberagamaan anak dan remaja
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fenomena Keberagamaan Dalam Diri Manusia
Ibnu Maskawih mendefinisikan manusia sebagai suatu alam kecil yang
maan di dalamnya ada kesamaan dengan seluruh yang ada di alam raya. Panca indra
yang manusia miliki, selain memiliki kekhasannya akan tetapi juga mempunyai
indra bersama yang berfungsi sebagai pengikat sesama indra. Indra ini dapat
memebri citra idnrawi secara bersamaan tanpa waktu, dan tanpa pembagian. Citra
ini kemudian menyatu yang akhrinya terdesak pada indra tersebut.[2] atas dasar itu, al-Farabi, al-Ghazali, serta Ibnu Rusyd mengatakan
bahwa hakikat manusia itu ada 2 komponen yang urgent, yaitu:
1.
Komponen jasad,
al-Farabi mendfiniskan komponen ini berasal dari alam ciptaan, yang ada bentuk,
rupa, memiliki kualitas, memiliki kadar, bergerak serta diam, berjasad dan
memiliki organ.[3]
2.
Komponen jiwa,
al-farabi menjelaskan bahwa komponen ini bersumber dari amal perintah (kholiq)
yang memiliki sifat tidak sama dengan jasad manusia. Hal ini terjadi karena
jiwa adalah roh dari perintah Tuhan, meskipun tiak memiliki dzatnya.
Secara konsep psikologi, menurut Crider yang dikutip oleh Wildan
Baihaqi bahwasannya manusia dipandang sebagai makhluk hidup yang dibekali
kesempurnaan aspek fisik dan mental. Aspek fisik adalah semua yang melibatkan
organ tubuh secara nyata nampak dan melekat pada manusia, sehingga bisa diraba
dan diamati, seperti tangan, kepala, dan lain sebagainya. Sedangkan aspek
mental, yaitu organ hidup manusia yang takan bisa diraba serta diamati. Akan
tetapi diyakini keberadaannya. Dalam perwujudannya, aspek mental ini seperti
ingatan, perasaan, pikiran, motivasi dan keyakinan.[4]
Sedangkan agama menurut kamus besar bahasa Indonesia, agama
memiliki arti segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dsb) serta dengan ajaran
kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. (Poerwadarminta,
1982: 18). Jika dari sudut pandang kebahasaan memiliki arti peraturan-peraturan
tradisional, ajaran, kumpulan hukum yang berlaku secara turun temurun seerta
ditentukan dengan adat kebiasaan.[5]
Sedangkan dari pandangan sosiologi agama merupakan sebuah
tindakan-tindakan dalam system social yang ada pada diri orang-orang yang
mempercayai akan sesutau kekuatan tertentu (supranatural) dan memiliki fungsi
agar dirinya selamat. Agama adalah suatu sistem sosial yang diperagakan
masyarakat, yaitu system sosial yang dibuat manusia agar berbakti serta
menyembah Tuhan. System sosial tersebut diyakini sebagai suatu erintah hukum,
perintahnya langsung dating dari Tuhan supaya manusia mematuhinya. Perintah
tersebut memiliki kekuatan Ilahi sehingga memiliki fungsi untuk meraih
keselamatan secara pribadi dan umum.
Dari pengertian agama tersebut, maka manusia memerlukan adanya
agama untuk dijadikan pedoman dalam kehidupannya. Sehingga, manusia tidak dapat
dipisahkan dari agama, karena tanpa adanya sebuah agama hidup manusia tidak
akan memiliki arah serta tujuan akhir yang jelas.[6]
B. Perkembangan Keberagamaan Anak Dan Remaja
Perkembangan menurut ungkapan Alizabeth sebagaiamana yang dikuti
oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir menyebut bahwa perkembangan sebagai sebuah
perubahan progresif yang terjadi karena suatu proses kematangan serta
pengalaman.[7]
Sedangkan J.P. Chaplin menyebutkan 4 pengertian perkembangan, yaitu
: (1) perubahan yang berkelanjutan serta progresif di dalam organism, dari
lahir hingga meninggal; (2) pertumbuhan; (3) perubahan (3) perubahan dalam rupa
serta dalam integrasi dari bagian jasmani ke dalam bagian fungsional; (4) kedewasaan
atau kenampakan pola dari perilaku yang tak diplajari.[8]
Adapaun perkembangan
menurut McLeod seperti yang dikutip oleh Prof. Muhibbin menyatakan bahwa
perkembangan yaitu suatu proses atau periode pertumbuhan ke arah yang lebih
maju. Muhibbin pun memberikan kesimpulan mengenai perkembangan sebagai susunan
perubahan jasmani serta rohani manusia menuju kea rah yang lebih terdepan dan
sempurna.[9]
Jadi perkembangan
dapat diartikan sebagai suatu proses pertumbuhan jasmani maupun rohani
seseorang yang dapat dilihat dari perubahan fisik masupun prilaku.
Istilah anak sering
disematkan kepada keadaan manusia yang sudah lahir sampai usia puber. Menurut
Elizabeth Lee Vincent dan Philis C. Martin. Usia anak dibagi kedalam 3 bagian,
yaitu usia bayi mulaidari 0 – 2 tahun; usia pra sekolah yaittu usia 2-6 tahun,
dan usia sekolah yaitu usia 6-12 tahun.[10]
Remaja berasal dari
kata adolescere yaitu bahasa latin
yang artinya tumbuh kea rah kematangan (Muss:1968). Kata matang di sini
meliputi kematangan fisik maupun sosial-psikologis.[11]
Sedangkan remaja menurut Zakiah Derajat para
psikolog memiliki banyak pendapat mengenai remaja, akan tetapi para psikolog
tersebut juga sepakata bahwa tanda rema dimulai dengan kegoncangan, yaitu
ditandai adanya haid pertama bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki.
Kejaidan ini tidak sama anatar anak yang satu dengan anak yang lainnya. Ada
yang mulai dari usia 12 tahun, ada juga yang sebelum usia 12 ataubahkan ada
yang usia 13 tahun. Demikian juga dengan masa akhir remaja belum jelas batasan
usianya. Namun, Zakiah Derajat menyebutkan bahwa usia remaj adalah usia
peralihan, yang ditandai dengan masa anak-anak menuju masa dewasa. Sehingga
masa remaja dapat diartikan juga sebagai masa kanak-kanak sebelum menuju masa
dewasa.[12]
Dari berbagai
pengertian di atas dapat dipahami bahwasannya perkembangan keberagamaan pada
anak atau remaja adalah suatu proses berlakunya ataupun bertumbuhnya
nilai-nilai keagamaan yang dialami oleh seorang anak ataupun remaja. Yang mana
dalam proses memperoleh perkembangan teresebut Prof. Muhhin menyebutan melalui
3 tahapan yaitu :
1.
Tahap Fairi
Tale Stage yaitu tahap dongeng. Yangmana tahap kesatu ini berlangsung
dalamumur 3-6 tahun. Pada saat mengenal konsep Tuhan, anak lebih didominasi
oleh daya khayal serta perasaan sesuai dengan tahapan perkembangan
intelektualnya yang sangat sederhana. Sehingga kehidupan pada usia tersebut
masih didominasi fantsi serta emosi. Menanggapi kehidupan keagamaan pun hanya
berdasarkan dongeng-dongeng yang berakibat emosi tertentu. Keadaan jiwa
keagamaan pada anak usia 3-6 tahun masih bersiat tidak mendalam.
2.
Tahap Realistic
Stage yaitu kenyataan. Tahap ini berlangsung pada usia sekolah yitu 6-12
tahun. Pada tahapan ini konsep Tuhan mulai ditanggapi secara realistis sesuai
dengan apa yang mereka terima dari orang tua, guru dan lembaga keagamaan yang
ada dilingkungannya. Pada saat ini pelajaran agama dan segala amal keagamaan
akan anak lakukan dengan suka cita.
3.
Tahap Individual
Stage yaiu tahap mandiri. Yang mana pada tahap ini berlangsung ketika
menginjak usia remaja dan setersunya. Pada tahapan ini jiwa keagamaan manusia
dalam tahapan menuju sifat reaistis, yaitu berupa ketidakbergantungan lagi
terhadap dongen atau semosi. Walaupun aka nada waktunya juga bahwa jiwa
keagamaannya akan mengakibtakn emosi tertetu. Contohnya ketika ada orang yang
menghina atau mencaci agama dan Tuhannya, maka secara refleks ia akan marah
yang mana marah ini merupakan terseulunya emosi seorang manusia.[1]
Oleh sebab itu, maka seorang guru harus
mampu mengenali fase perkembangan keberagamaan yang terjadi terhadap peserta
didiknya, agar mampu mengarahkan menuju jiwa keberagamaan yang mantap.
BAB III
SIMPULAN
Agama adalah suatu sistem sosial yang diperagakan masyarakat, yaitu
system sosial yang dibuat manusia agar berbakti serta menyembah Tuhan. System
sosial tersebut diyakini sebagai suatu erintah hukum, perintahnya langsung
dating dari Tuhan supaya manusia mematuhinya. Perintah tersebut memiliki
kekuatan Ilahi sehingga memiliki fungsi untuk meraih keselamatan secara pribadi
dan umum. Dari pengertian agama tersebut, maka manusia memerlukan adanya agama
untuk dijadikan pedoman dalam kehidupannya. Sehingga, manusia tidak dapat
dipisahkan dari agama, karena tanpa adanya sebuah agama hidup manusia tidak
akan memiliki arah serta tujuan akhir yang jelas.
Perkembangan
keberagamaan pada anak atau remaja adalah suatu proses berlakunya ataupun
bertumbuhnya nilai-nilai keagamaan yang dialami oleh seorang anak ataupun
remaja. Oleh sebab itu, maka seorang guru harus mampu mengenali fase
perkembangan keberagamaan yang terjadi terhadap peserta didiknya, agar mampu
mengarahkan menuju jiwa keberagamaan yang mantap
DAFTAR PUSTAKA
[1] M. Syah, Telaah
Singkat Perkembangan Peserta Didik, 2nd ed. Jakarta: PT Rajagrapindo
Persada, 2016.
[2] Ismail Raji
al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan, 1st ed. Bandung: Mizan, 1984.
[3] Ahmad Daudy, Kuliah
Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
[4] Wildan Baihaqi,
Psikologi Agama. Bandung: Selfpublishing, 2018.
[5] Muhammaddin,
“Kebutuhan manusia terhadap agama,” JIA/Juni 2013/Th.XIV/Nomor 1/99-114,
p. 101, 2013.
[6] Khadijah,
“Pengembangan Keagamaan Anak Usia Dini,” Januari-Juni 2016, ISSN 2338-2163,
vol. IV. No. 1, pp. 33–48, 2016.
[7] Abdul Mujib,
Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, 3rd ed. Jakarta: PT
Rajagrapindo Persada, 2002.
[8] M. A. Muhammad
Ichsan Thaib, “Perkembangan Jiwa Agama Pada Masa Al-Murahiqah (Remaja),” Al-murahiqah,
vol. 17, no. 2, pp. 245–258, 2015.
[9] Muhibbinsyah, Psikologi
Perkembangan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.
[10] Erisa Kurnianti,
“Perkembangan Bahasa Pada Anak Dalam Psikolog Serta Implikasinya Dalam
Pembelajaran,” J. Ilm. Univ. Batanghari Jambi, vol. 17, no. 3, pp.
47–56, 2017.
[11] Sarwono, Psikologi
Remaja. Jakarta: PT Rajagrapindo Persada, 2011.
[12] Zakiyyah
Derajat, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Untuk file word nya silahkan KLIK DI SINI
Untuk file word nya silahkan KLIK DI SINI