puisi

puisi

Rabu, 22 Agustus 2018

Selamat Ulang Tahun Bung Wiji Thukul, Pulanglah!

Oleh: Aris Hidayatullah

Berawal dari kegiatan --entah bisa disebut kegiatan atau tidak, mungkin lebih tepatnya keisengan-- membuka draft kumpulan e-book atau buku PDF di handphone yang baru saja didownload, ketika itu saya mencari e-book Telaah Kritis Atas Faham Wahabi yang baru saja dikirim dari sahabat saya Ahmad Mushopa, sebenarnya sih saya yang download e-book tersebut, cuman di handphone dia (maklum kuota saya lagi kritis, he) kemudian e-book itu ia kirim ke saya via WhatsApp.

Niatan awal mencari e-book yang dimaksud (Telaah Kritis Atas Faham Wahabi), jutru saya malah menemukan e-book yang berjudul: Tempo, Edisi Wiji Thukul. Dalam hati saya berkata, "ini e-book apaan? Perasaan saya gak pernah download atau minta dari teman deh". Namun, sepertinya ada orang yang mengirim ke group WhatsApp, dan mungkin kebetulan saya sedang nge-WiFi jadi e-book tersebut otomatis terdownload.

Karena judulnya yang asing di telinga, saya pun penasaran lalu membukanya. Ternyata e-book itu adalah majalah mingguan Tempo edisi khusus Tragedi Mei 1998-2013 yang topik utama bahasannya adalah Teka-Teki Wiji Thukul dengan sedikit sinopsis yang berbunyi "ia hilang sekitar prahara Mei 1998. Diburu Kopassus, penyair ini juga menjadi target operasi kelompok lain. Siapa yang telah menghabisinya?". Begitulah yang tertera dalam cover atau sampul awal Majalah Tempo edisi 13-19 Mei 2013 tersebut. Setelah saya melihat cover dan membaca sinopsisnya itu, saya pun langsung tertarik untuk membacanya lebih lanjut.

Ya, e-book --selanjutnya disebut majalah-- itu membahas mengenai Wiji Thukul, lelaki cadel yang dianggap membahayakan Orde Baru. Ia “cacat” wicara, tapi ia dianggap berbahaya. Rambutnya lusuh. Pakaiannya kumal. Celananya seperti tak mengenal sabun dan setrika. Ia bukan burung merak yang mempesona. Tapi, bila penyair ini membaca puisi di tengah buruh dan mahasiswa, aparat memberinya cap sebagai agitator, penghasut. Selebaran, poster, stensilan, dan buletin propaganda yang ia bikin tersebar luas di kalangan buruh dan petani. Kegiatannya mendidik anak-anak kampung dianggap menggerakkan kebencian terhadap Orde Baru. Maka ia dibungkam. Dilenyapkan. Tulis dalam majalah tersebut.

Saya pun semakin penasaran dengan sosok yang dianggap "membahayakan" oleh Orde Baru itu. Lantas, saya pun mencoba mencari biografinya, karya-karyanya dan lain halnya yang bersangkutan dengan dia. Dalam masa kepo tersebut, saya menemukan bermacam-macam puisi karyanya, salah satu puisi yang berjudul Peringatan adalah puisi yang mengajakku berkenalan dengannya. Beginilah syairnya:

Peringatan

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa


Kalau rakyat bersembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar


Bila rakyat berani mengeluh

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa 

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam


Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

maka hanya ada satu kata: Lawan!


Dari puisinya ini, saya dapat membayangkan bahwa ia adalah sosok yang tegas dan jujur. Puisinya ini menggambarkan kebobrokan rezim saat itu. Seperti yang kita ketahui, bahwasannya pada saat rezim Soeharto kebebasan berpendapat atau mengkritik pemerintah sangat dikecam, siapapun yang berani bersuara akan dilenyapkan. Namun, dengan lantangnya Wiji Thukul menyerukan untuk melawan. Meski bukan secara terang-terangan melawan pemerintah, namun puisi-puisi yang dibuatnya dianggap sebagai ancaman yang membahayakan kaum penguasa, karena puisi-puisinya merupakan simbol perlawanan yang ditakutkan dapat "meracuni" khalayak ramai.

Tak heran jika ada istilah yang mengatakan "terkadang kata-kata bisa lebih tajam dari pedang". Ternyata Wiji Thukul pun memilih kata-kata yang dituangkan dalam sebuah puisi sebagai senjata perlawanannya terhadap penguasa ketimbang pedang. Dan puisi-puisi yang ia ciptakan cukup membuat pemerintah ketakutan.

Katanya, puisi yang berjudul Peringatan di atas sering menghiasi berbagai macam demo yang dilakukan oleh para mahasiswa, terutama pada akhir tahun 1998. Saat itu banyak orang-orang terutama mahasiswa turun ke jalanan untuk menyuarakan unek-unek mereka. Namun respon pemerintah justru lebih bringas dari massa yang menuntut reformasi, kekacauan dan tindak kekerasan aparat terjadi demi "menertibkan" massa. Akan tetapi massa tidak gentar, mereka berpegang teguh terhadap perkataan Wiji Thukul: Lawan!

Hingga akhirnya reformasi pun tercapai, akan tetapi semua itu harus dibayar mahal karena memakan banyak korban, Wiji Thukul adalah salah satunya. Setelah kejadian tersebut, Wiji Thukul hilang entah kemana, tak satupun ia meninggalkan jejak kepergiannya. Orang-orang mengatakan bahwa ia diculik pemerintah lalau dilenyapkan, namun rekan-rekannya berkata bahwa ia sembunyi dari kejaran penguasa. Karena tidak ada kabar tentang dirinya yang entah kemana,  maka pada tahun 2000 ia resmi dimasukan ke dalam daftar orang hilang di negeri ini.

Bagai tulisan di atas pasir pantai yang tersapu ombak lautan, seketika ia hilang, ia lenyap, tanpa menyisakan jejak sedikitpun. Ya, Wiji Thukul tak pernah kembali. Genap, 20 tahun sudah ia lenyap. Hari ini, 26 Agustus adalah hari dimana ia lahir kepangkuan ibu Pertiwi, 55 menjadi angka usianya tahun ini.

Selamat ulang tahun Bung, pulanglah!

Photo Wiji Thukul, 
Sumber: Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar